Kisah Seekor Anak Burung dan Gadis Kecil

Seorang gadis kecil yang sedang berjalan di tepi hutan menemukan seekor anak burung yang mengepakkan sayap di bawah pohon, berusaha terbang.

"Anak burung!" seru si gadis kecil seraya mengambil anak burung itu dengan hati-hati.

Anak burung itu sangat mungil, tidak sampai sebesar telapak tangan gadis kecil. Gadis kecil tidak melihat adanya luka di tubuh anak burung, tetapi mata anak burung itu terus terpejam.

"Kamu kenapa?"

Anak burung menjawab dengan mengepakkan sayapnya.

Gadis kecil mendongakkan kepala dan melihat bahwa di atas pohon, jauh di atas sana, terdapat sarang burung.

"Apakah kamu terjatuh dari sarangmu?"

Lagi-lagi anak burung mengepakkan sayapnya.

"Baiklah, aku akan mengembalikanmu kepada keluargamu."

Gadis kecil menaruh anak burung di kantong depan bajunya dan mulai memanjat pohon. Perlahan-lahan, melewati dahan demi dahan. Buku-buku jari tangan dan kakinya tergores. Peluh mulai membasahi wajahnya dan ketika gadis kecil menyekanya dengan tangannya, wajahnya mulai tercoreng warna kayu.

Gadis kecil terus memanjat hingga akhirnya dia mencapai dahan tempat sarang burung berada. Di dalam sarang hanya terdapat seekor anak burung lain yang menatap si gadis kecil tanpa rasa takut. Sambil tersenyum lebar gadis kecil berkata,

"Halo, aku datang untuk mengembalikan adikmu."

Dan gadis kecil mengeluarkan anak burung dari dalam kantongnya lalu meletakkannya di samping kakaknya. Sambil terus tersenyum, gadis kecil memulai perjalanannya menuruni pohon.

*****

Keesokan harinya, gadis kecil kecil menemukan anak burung berada di bawah pohon, lagi.

"Anak burung!" seru gadis kecil sambil berlari menghampiri anak burung.

Anak burung menghindar dari gadis kecil dan mengepakkan sayapnya, berusaha terbang, tapi tidak berhasil.

"Lagi-lagi kamu jatuh dari sarangmu? Ceroboh sekali! Atau kamu sedang belajar terbang?" omel gadis kecil.

Anak burung mengepakkan sayapnya lagi, matanya tetap terpejam. Gadis kecil menghela nafas.

"Hati-hati kalau belajar terbang."

Gadis kecil pun memanjat pohon lagi untuk mengembalikan anak burung ke sarangnya.

*****

Keesokan harinya, gadis kecil melewati pohon sarang burung lebih awal dan mendongak tepat saat anak burung terjatuh.

"Hei, anakmu terjatuh!" seru gadis kecil pada ibu burung yang terbang berputar-putar mengelilingi sarangnya sambil bercicit ramai.

Gadis kecil mengerutkan keningnya. Anak burung terjatuh bukan karena belajar terbang, tetapi karena paruhnya tertarik paruh ibu burung. Anak burung sedang diberi makan?

"Kamu ceroboh sekali saat makan," kata gadis kecil pada anak burung.

Anak burung diam saja.

"Hei," gadis kecil mengangkat anak burung dari tanah dan mengamatinya dari dekat.

"Kamu memang belum bisa membuka mata seperti anak kucing atau kamu sakit mata?" tanya gadis kecil karena mata anak burung selalu terpejam.

Anak burung mengepakkan sayapnya dan gadis kecil tersenyum. Percakapan seperti ini sudah menjadi rutinitas mereka berdua.

Gadis kecil memasukkan anak burung ke dalam kantongnya dan mulai memanjat pohon.

*****

Keesokan harinya gadis kecil tiba lebih awal lagi dan melihat kejadian yang sama berulang. Ibu burung menarik anak burung hingga terjatuh dari sarang.

Merasa marah, gadis kecil mengambil anak burung dan berjalan pulang ke rumah.

"Ibumu jahat sekali! Kenapa kamu dijatuhkan dari sarang? Apakah kamu anak nakal?"

Anak burung diam saja tak bergerak.

"Baiklah, kalau begitu aku yang akan merawatmu."

Gadis kecil membawa anak burung pulang ke rumahnya. Disiapkannya air dan beras untuk makanan dan minuman anak burung. Namun ia kebingungan karena anak burung tidak terlihat ingin makan ataupun minum. Lagipula anak burung terlalu kecil, bahkan sebutir beras rasanya terlalu besar untuk paruh mungilnya.

Jadi gadis kecil berpikir keras, dan akhirnya ia menemukan suatu cara untuk memberi minum anak burung. Gadis kecil mencelupkan salah satu jarinya ke dalam air dan kemudian meneteskan air di jarinya tersebut ke paruh anak burung.

"Ciap!" anak burung membuka paruhnya dan menelan air yang berkumpul di paruhnya.

Gadis kecil sangat girang. Anak burung mau minum!

"Ciap, ciap!"

Gadis kecil terus memberikan minum pada anak burung sampai dirasanya cukup. Kemudian ia menumbuk beberapa butir beras kecil-kecil. Dengan sabar, disuapkannya butiran beras itu satu per satu ke dalam paruh anak burung.

"Ciap, ciap!"

Anak burung terlihat makan dengan lahap. Tapi gadis kecil merasa khawatir karena anak burung terlihat sangat lemas. Lehernya terjulur dan kakinya seperti tidak mampu menahan tubuhnya. Gadis kecil membuatkan sarang untuk anak burung dari kotak kardus dan tumpukan kain.

"Beristirahatlah dulu, burung kecil."

Gadis kecil meninggalkan anak burung untuk beristirahat di sarangnya. Namun karena khawatir ia datang mengecek anak burung setiap beberapa saat. Gadis kecil semakin khawatir karena anak burung tidak bergerak sama sekali dan tidak mampu tidur dengan berdiri pada kedua kakinya, melainkan tidur sambil tergeletak miring. Bukankah seharusnya hurung tidur dengan berdiri? Apakah kaki anak burung patah?

Karena khawatir, gadis kecil mengambil anak burung dari sarangnya dan mencoba memberinya makan dan minum lagi. Tetapi kali ini anak burung tidak mau minum dan memuntahkan air yang ditelannya.

"Ciap!"

Gadis kecil memangku anak burung dan mengelus kepalanya.

"Bagian badanmu yang mana yang terluka? Kaki? Sayap? Leher? Kenapa lehermu terjulur dan kamu tidak mau berdiri?"

"Ciap, ciap!"

Gadis kecil terus mengelus kepala anak burung sampai kemudian ia sadar bahwa anak burung tak lagi bergerak.

"Anak burung? Burung kecil?"

Tetapi anak burung tetap diam. Air mata gadis kecil mengucur deras ketika disadarinya bahwa tubuh anak burung sudah menjadi kaku. Lehernya tak lagi menjulur lemas. Anak burung terlihat seperti sedang tidur. Tetapi gadis kecil tahu bahwa anak burung tidak akan bangun lagi.

Gadis kecil terus memangku anak burung dan mengelus kepalanya, berharap dugaannya salah dan anak burung masih hidup.

Gadis kecil terus menunggu, dan menunggu. Tetapi anak burung terus tetap terdiam. Dan akhirnya gadis kecil menyadari, ini saatnya untuk menyerah dan berhenti berharap. Anak burung benar-benar sudah pergi.

Dengan berurai air mata, gadis kecil menggali lubang di halaman rumahnya dan mengubur anak burung di sana.

"Maafkan aku, burung kecil, mungkin seharusnya aku langsung membawamu pulang begitu menemukanmu pertama kali."

*****

Ibu tersenyum sedih ketika mendengar cerita putrinya, si gadis kecil, malam itu.

"Sayangku," ucap Ibu sambil memeluk gadis kecil yang masih menangis.

"Setiap ibu memiliki cara masing-masing untuk menyayangi anaknya. Kalau mendengar ceritamu, sepertinya anak burung buta, bukan? Dia tidak pernah membuka matanya sama sekali?"

Gadis kecil mengangguk dalam pelukan Ibu.

"Binatang itu tidak seperti manusia, sayang. Kalau anak manusia terlahir cacat atau sakit, orang tuanya masih bisa mencari banyak cara untuk menyembuhkan anaknya. Tetapi kalau binatang, sekali terlahir cacat dia akan cacat seumur hidup.

Bagi binatang, sekali terlahir cacat dia akan cacat seumur hidup. Dan jangankan binatang yang cacat, binatang yang sehat pun belum tentu akan hidup sehat dan berumur panjang. Karena itu, sebagai bentuk rasa sayang, biasanya hewan yang terlahir cacat akan dibunuh oleh orang tuanya saat bayi."

"Bagaimana bisa itu rasa sayang?"

"Kalau kamu pasti hidup menderita dan pada akhirnya juga akan mati, bukankah dengan mati saat bayi kamu akan terhindar dari penderitaan?

Selain itu juga masih ada banyak pertimbangan. Dengan tidak perlu lagi merawat anaknya yang cacat, induk burung tidak perlu berusaha terlalu keras untuk mencari makan bagi keluarganya. Kemungkinan keluarga burung itu untuk bertahan hidup jauh lebih besar, semua karena pergorbanan dari anak burung.

Tetapi itu semua hanya berlaku untuk binatang, yang tidak memiliki akal. Manusia yang memiliki akal justru harus berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan anaknya sebagai bentuk rasa sayang."

Gadis kecil mencoba memahami kata-kata ibunya.

"Ibu yakin, anak burung itu pasti berterima kasih karena sudah kamu tolong. Setidaknya ada yang menemaninya di saat terakhirnya. Dan siapa tahu, dengan kamu yang mengembalikan anak burung ke sarangnya, anak burung dan ibunya jadi bisa mengucapkan selamat tinggal dengan lebih baik.

Jadi, sayangku, jangan menyerah untuk berbuat baik karena hal ini."

*****


In memoriam, Bucil 27-08-2017

Comments

Popular posts from this blog

Sekilas Mengenai Beasiswa PMDSU

Jalan-jalan ke Kyoto dan Osaka

Belajar Ikebana (Part 1)